Nenek Moyang Suku Moronene (Asal-usul dan Kebudayaan)

Oleh Febryaristian. 

MATANETSNEWS.COM BOMBANA– Suku Moronene merupakan suku yang kebanyakan mendiami wilayah Kabupaten Bombana (Dataran Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Kabaena)  Suku Moronene, adalah salah satu suku besar yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Populasi orang Moronene diperkirakan sekitar 7.000 orang.

Istilah “moronene” berasal dari kata “moro” yang berarti “serupa” dan “nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku, yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.

Para pakar anthropolog berkeyakinan bahwa orang Moronene ini adalah penghuni pertama wilayah ini. Mereka tergolong suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua) yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk lain yang juga menghuni wilayah ini, yaitu suku Tolaki, yang mendesak mereka masuk ke pedalaman Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan asal-usulnya Suku Bangsa Proto Malayan (Melayu tua) merupakan bagian dari Ras Mongoloid. Ras Mongoloid mempunyai 3 subras yaitu:

Asiatik Mongoloid (Cina,Jepang,Korea)
Malayan Mongoloid (Melayu)
American Mongoloid (Suku Indian)
Suku Bangsa Melayu (Malayan Mongoloid) yang terdapat di Indonesia dalam proses menetapnya dibedakan menjadi dua yaitu

Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu)
Bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu)
Pada awalnya, Suku Moronene adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sebuah peta yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah tercantum nama Kampung Hukaea sebagai kampung terbesar suku Moronene, yang saat ini wilayah pemukiman mereka ini masuk dalam areal Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara termasuk Kota Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953. Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala, bagi orang Moronene disebut sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur mereka.

Adat dan Budaya Suku Moronene

Adat Morongo Kompe

Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan. Adat perkawinan ini masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Adat perkawinan ini juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia.

Baca Juga:  Kegiatan Penghijauan Penandatanganan Prasasti Dan Peresmian Tugu KKDN UNHAN

Masyarakat Moronene (Kabaena) sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia dengan keanekaragaman suku yang mendiami seluruh pelosok tanah air melambangkan pula keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hukum adat yang mengatur perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan dalam setiap masyarakat atau suku sering berbeda-beda. Tata cara adat perkawinan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, demikian pula adat perkawinan suku moronene memiliki adat perkawinan yang berbeda-beda dengan berbagai suku bangsa di Indonesia akan tetapi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut justru merupakan unsur yang penting yang memberikan identitas kepada setiap suku bangsa di Indonesia.

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene (Kabaena), Kabupaten Bombana. terlihat sangat kuat dari berbagai persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah satunya persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan. Dimana benda-benda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.

Sebagai salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan merupakan bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untukmengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan simbol sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang  tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda.

Makna simbolik benda dalam adat perkawinan sebagai salah satu karya sastra (budaya),menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan kepada suatu yang religius (Wellk dan Warren dalam Darmawan. 2006: 2). Hal itu disebabkan karena pada dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Makna simbolik benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Moronene, ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan.

Dilihat dari lahiriahnya makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene, mengenai bentuk dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum adat suku Moronene yaitu:

Baca Juga:  KPK OTT Bupati Bogor Bersama BPK Jawa Barat

Tahap Mongapi (peminangan) atau biasa disebut juga morongo kompe disini telah ditentukan  benda yang digunakan adalah pinca (piring), rebite (daun sirih), Wua (Pinang), tagambere (gambir), Ahu (tembakau), serta Ngapi (Kapur Sirih).

Tahap mesampora (Masa Pertunangan) alat dan bahan yang digunakan pada masa pertunangan adalah sawu (sarung) sinsi wula (cincin emas). Alat dan bahan yang digunakan pada saat mongtangki (mengantar buah) adalah nilapa (ikan salai yang dibungkus pelepah pinang) punti (pisang), Towu (tebu), Ni’i Mongura (kelapa muda), Gola (gula Merah), tagambere (gambir), wua (pinang), rebite (sirih), Kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), duku (nyiru).

Molangarako (mengantar kedua pengantin kerumah orang tua laki-laki), adapun benda yang digukan adalah kain putih (kaci), benang putih (bana) dan kelapa (nii), beras (inisa), lesung (nohu), kampak (pali), peti (soronga). Penyerahan pokok adat(langa) sebelum akad nikah dilaksanakan, adapun benda-benda dalam (langa)  yaitu karambau(kerbau), sawu (sarung) dan kaci (kain putih) serta empe (tikar yang terbuat dari daun pandan).

Benda – benda adat yang digunakan sesuai pada tahapan dan waktu yang telah dientukan oleh para tokoh adat di atas, tentunya memiliki nilai tersendiri yang sangat bermakna bagi mereka. Nilai-nilai ini berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia baik secara vertikal dengan sang pencipta maupun secara horizontal dengan sesama manusia.

Nilai yang tertuang dalam adat perkawinan suku Moronene adalah:

Pertama nilai religius yang berkaitan erat dengan unsur kepercayaan tentang adanya makhluk gaib, makhluk halus dan roh-roh jahat serta kepercayaan tentang adanya sang pencipta alam dan beserta isinya, yakni Allah SWT.

Kedua nilai estetika menyangkut sikap dan penampilan seseorang dalam mengungkapkan dan menikmati hal-hal yang megandung nilai-nilai keindahan dan artistik karya manusia.

Ketiga nilai sosial adalah suatu nilai yang terdapat pada setiap individu mewujudkan pada orang lain atau lingkungannya sehingga dapat terlihat dan terwujud suatu kerjasama yang baik dengan dan dilandasi suatu pengertian bahwa satu pekerjaan bila dikerjaka secara bersama-sama bagaimanapun beratnya akan terasa ringan.

Masyarakat Kabaena khususnya suku Moronene (kabaena)  saat ini umumnya tidak memahami dengan jelas makna simbolik apa yang sebenarnya tersirat dalam benda-benda adat yang digunakan dalam perkawinan suku moronene, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya hanya di ketahui oleh kalangan tokoh-tokoh adat saja. Ini terlihat bahwa kurangnya inisiatif dari para pemuda atau remaja untuk mempelajari adat istiadat budayanya sendiri, yang diharapkan dapat menjadi penerus dan pemelihara kelestarian budaya lokal sebagai ciri khas suku Moronene di Kabaena.

REDAKSI. (*)

Pos terkait